Dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata, seorang pemuda bertanya pada saya: “Apa band-nya masih (main)?”
Saat itu kami sedang berada di salah satu kafe di daerah Sosrowijayan,
Yogyakarta. Sayangnya, band yang pemuda itu maksud baru saja memainkan
lagu terakhir mereka. Agar dia tidak terlalu kecewa, saya pun
menawarkannya hang out sebentar bersama saya dan teman-teman. Pemuda itu, Severin, dengan senang hati menerima ajakan tersebut.
Dari
percakapan malam itu, saya ketahui bahwa kami seumuran. Severin
berasal dari kota Munich, dan bekerja sebagai kru panggung untuk sebuah
klub malam di sana. Dia bertugas dari jam 6 petang hingga 12 tengah
malam — 6 jam kerja sehari, 5 hari sepekan. Enak banget? Ada yang lebih
enak lagi: dia diberi cuti selama 6 minggu oleh atasannya, dengan gaji
yang tetap dibayar penuh plus uang saku untuk liburan.
Saya
pun jadi penasaran: apakah kultur kerja di Jerman memang sesantai itu?
Bagaimana bisa dengan kerja yang tapi masih bisa memperoleh penghasilan
yang cukup? Bagaimana bisa mereka meninggalkan pekerjaan selama
berminggu-minggu tanpa sedikit pun rasa khawatir dan bikin bos kalang
kabut? Yuk, sama-sama kita pelajari budaya dan etos kerja yang
diterapkan oleh orang di Jerman sana!
1. Bagi orang Jerman, jam kerja artinya ya jam untuk bekerja. Titik.
Rata-rata orang Jerman bekerja sebanyak 35 jam per minggu
alias 7 jam dalam sehari. Dalam kultur kerja di negara tersebut, saat
karyawan sedang bertugas, dia gak boleh melakukan apapun selain
kerjaannya. Itu berarti gak ada waktu buat bergosip dengan rekannya,
membuka Facebook dan media sosial lainnya, apalagi belanja online.
Kebiasaan berlagak sibuk (padahal lagi nge-Kaskus) saat bos kamu
menghampiri merupakan perilaku yang gak bisa diterima dalam dunia kerja
Jerman. Nah, bagi kamu yang masih buka media sosial atau chat di ponsel pintar, ayo ditutup dulu. Kembali ke pekerjaan, fokus!
Ketika
sedang bekerja orang Jerman terkenal sangat fokus dan rajin, kamu bisa
datang dan pergi dari kantor sewaktu-waktu asalkan sudah menyelesaikan
pekerjaanmu. Jadi, tak ada aturan ketat masuk jam 9 pulang jam 5.
Mereka selalu berusaha fokus dan cekatan dalam bekerja, sehingga
produktivitas yang tinggi bisa tercapai dalam waktu yang singkat.
2. Demi mengejar tujuan, Orang Jerman lebih menyukai pola komunikasi langsung
Saat
kita orang Indonesia mengagungkan budaya basa-basi, orang Jerman tetap
bisa asik tanpa banyak basa-basi. Karyawan di Jerman akan bicara
langsung kepada atasannya mengenai laporan yang ia buat, bawahan juga
gak segan untuk menanyakan kenapa performa kerjanya dianggap menurun.
Atasan mereka juga lebih suka menggunakan perintah langsung seperti “Saya butuh kerjaan kamu jam 3 sore ini” daripada “Gak buru-buru, kok. Tapi kalau bisa selesai jam 3, bagus.”
Coba
intip daftar susunan acara rapat di kantor-kantor Jerman. Kamu gak akan
menemukan mata acara ‘Sambutan’ dari Pak ini dan Bu itu. Apalagi mata
acara ‘Ramah Tamah’. Semua dilakukan langsung pada intinya, tanpa perlu
adanya pencair suasana.
3. Orang Jerman memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi dengan seimbang
Karena
fokus yang mereka curahkan bagi pekerjaan begitu intens dan mereka
begitu produktif saat di kantor/pabrik, selesai jam kantor mereka
manfaatkan buat istirahat. Mereka gak terlalu suka hang out atau
ngopi-ngopi dulu bareng teman sekantor. Karena pada umumnya orang Jerman
benar-benar menghargai batasan antara kehidupan pribadi dan kehidupan
profesionalnya. Bahkan pemerintah Jerman berencana untuk melarang pengiriman email yang berhubungan dengan kerjaan setelah jam 6 sore, supaya pekerja di sana bisa beristirahat.
Bagi
mereka, hari libur benar-benar dimanfaatkan untuk berlibur. Akhir
pekan dimanfaatkan untuk bercengkrama dengan keluarga dan berbaur dengan
masyarakat melalui komunitas minat khusus seperti klub musik, klub
olahraga, klub pecinta binatang, klub hiking dan sebagainya. Bahkan di
desa terkecil di Jerman terdapat beberapa klub, hingga mereka gak
melewatkan akhir pekan dengan malas-malasan di depan TV.
4. Masyarakat Jerman dimanjakan dengan jumlah hari libur yang banyak
Dalam
setahun, masyarakat Jerman menikmati ‘libur yang dimandatkan negara’
(mungkin sama dengan ‘cuti bersama’ atau ‘libur nasional’ kalau di
Indonesia) yang banyak banget. Kalau ditotal, bisa mencapai 6 minggu dalam setahun.
Bayangkan, kamu gak harus pergi kerja selama 6 minggu sementara gaji
kamu tetap dibayar penuh. Itu belum termasuk 25-30 hari jumlah cuti (padahal yang dianjurkan cuma 20 hari)
yang boleh diambil dalam setahun, itu artinya jika bisa pandai-pandai
mengatur jadwal liburan, mereka bisa traveling ke tempat jauh sekalian
seperti yang Severin lakukan di atas.
Lalu apa hubungannya liburan dengan produktivitas kerja? Selain liburan membuat kamu lebih fresh saat
kembali ke kantor, kita juga harus menggunakan kacamata orang Jerman
dalam melihat liburan. Bagi mereka, liburan adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan. Sedangkan kita hanya menganggap liburan
sebagai bonus/hadiah dari pekerjaan.
5. Para karyawan di Jerman jarang melakukan rapat dan pertemuan
Kalau
kultur kerja di Indonesia terbiasa dengan kebiasaan beramah-tamah,
santai dan lebih banyak basa-basi demi menjalin keakraban, kultur kerja
di Jerman menitikberatkan pada kualitas, bekerja secara individu, dan
segera pulang setelah selesai pekerjaannya. Memang benar mereka lebih
suka bekerja sendiri dan tertutup jika itu dipandang bagus buat diri dan
kantornya. Seringkali mereka mengambil istirahat siang yang panjang
agar bisa bekerja di luar kantor dan lebih fokus. Jadi, jangan heran
melihat mereka jarang ngumpul buat rapat atau ngobrol soal kerjaan. Bagi
mereka, less social time is more work time.
6. Tidak ada yang perlu dicemaskan bila mereka kehilangan pekerjaan
Jika
mereka berminggu-minggu libur dan cuti, apa mereka gak takut kehilangan
pekerjaan? Mau bayar tagihan pakai apa? Tenang, selain karena libur dan
cuti tersebut dimandatkan oleh negara, orang Jerman gak terlalu cemas
jika mereka gak punya pekerjaan. Itu karena pemerintah Jerman selalu
berusaha membahagiakan rakyatnya dengan menyediakan layanan kesehatan gratis, biaya kuliah gratis, dan santunan kepada anak-anak kecil.
Orang
Jerman bebas dari rasa cemas karena beberapa tagihan mereka udah
ditanggung oleh pemerintah. Akibatnya mereka jadi jauh lebih bahagia,
lebih produktif, dan seluruh waktunya dicurahkan untuk pekerjaan dan
keluarga, bukan fokus buat memikirkan tunggakan bulanan.
7. Kualitas jauh lebih dipentingkan daripada kuantitas
Kultur
kerja yang diterapkan orang Jerman sekali lagi menegaskan bahwa
kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Saat kita membanggakan
diri dengan jumlah jam kerja dan lembur yang kita lakukan buat kantor
dan perusahaan, orang Jerman lebih mengutamakan kualitas dari hasil
pekerjaan. Kualitas itu didapatkan dengan fokus, efisiensi dan dedikasi
tanpa kompromi di tempat kerja.
Mereka memblokir semua
gangguan dari luar dan dalam diri demi menyelesaikan kewajiban, lalu
segera kembali ke keluarga dan komunitas untuk memelihara keseimbangan
antara pekerjaan dan kehidupan. Lagipula, buat apa pamer sudah kerja lembur hingga 12 jam kalau sebagian besar pekerjaannya diisi oleh membuka Facebook, ngerumpi, serta berbasa-basi?
Kultur kerja masyarakat Jerman memang gak bisa disamakan dengan gaya di
Indonesia. Namun, sebenarnya dari beberapa contoh di atas kamu bisa
mempelajari beberapa ilmu. Keuletan dan usaha mereka menyeimbangkan
antara ‘work’ dengan ‘play’ bisa kamu tiru. Pola komunikasi langsung
pada intinya bisa menghemat waktu, meningkatkan efisiensi, dan
memperjelas percakapan antar rekan kerja. Menutup media sosial saat
bekerja akan membantu fokus dan gak mudah terdistraksi. Lalu, nikmatilah
akhir pekan kamu tanpa gangguan smartphone dan internet agar otak kamu lebih bugar saat kembali ke kantor nanti.